Blue Fire Pointer PAULINA LAMBU: malpraktik dalam kebidanan

Kamis, 19 Mei 2016

malpraktik dalam kebidanan





KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu tanpa ada halangan sedikitpun.
            Tujuan kami membuat makalah ini sebagai tambahan referensi bagi para mahasiswa yang membutuhkan ilmu tambahan tentang Etika Profesi dan Hukum Kesehatan khususnya Malpraktik Kebidanan.
            Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang telah membimbing kita dalam menyelesaikan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada orang tua yang telah memberikan dukungan bagi kami. Serta tak lupa teman – teman yang ikut bekerja sama menyelesaikan makalah ini.
            Kami menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Karena kesalahan adalah milik semua orang dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Semoga makalah ini dapat berguna dan membantu proses pembelajaran.

                                                                    Yogyakarta , Mei 2016                      


    







BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Seperti yang terjadi di Batu, -Linda Handayani- sosok bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun umurnya sudah 60 tahun lebih yang tersebut melakukan malpraktik atas kelahiran istri dari Wiji Muhaimin. Bayi sungsang yang ditolong lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim. Kasus ini sampai mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.
B.  Tujuan
  1. Menjelaskan pengertian malpraktek
  2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek di bidang pelayanan kesehatan
  3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
  4. Menjelaskan tentang tanggung jawab hukum
  5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
B.  Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice
1.      Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :



a.       Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan    perbuatan tercela.
b.      Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
  • Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
  • Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
  • Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a.       Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya.
c.       Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
d.      Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Kasus di atas adalah termasuk malpraktik jenis Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.bedasarkan data dari kasus berikut :
Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Bayi sungsang yang ditolongnya lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.

C.     Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan  Kesehatan
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga bidan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?.




Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek.
Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a.       Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b.      Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan haruslah bertindak berdasarkan
1)  Adanya indikasi medis
2)  Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)  Bekerja sesuai standar profesi
4)  Sudah ada informed consent.





b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c.         Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai
b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut .
Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga bidan, karena:
a.       Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.
b.      Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c.       Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
Malpraktek dalam asuhan kebidanan adalah suatu kelalaian dari seseorang bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.


Jika dilihat dari pengertian tersebut dan dihubungkan dengan kasus Bidan Handayani, maka bisa dikatakan Bidan Handayani telah melakukan malpraktek. Bisa dikatakan demikian karena berdasarkan informasi yang telah kami dapat.
Tapi mengenai bukti kebenarannya secara pasti, dibutuhkan data – data lengkap mengenai riwayat kehamilan Ibu Nunuk sampai mengenai prosedur persalinan yang digunakan Bidan Handayani pada Ibu Nunuk.
Tidak bisa kita simpulkan hanya berdasarkan informasi sederhana yang kami dapat. Harus ditelaah lebih dalam bukan hanya saat kejadian. Tapi juga saat proses kehamilan. Apakah Ibu Nunuk rutin memeriksakan kehamilannya? Apakah Ibu Nunuk selalu memeriksakan kehamilan pada Bidan Handayani atau bidan lain? Apakah Bidan Handayani telah memperoleh informasi lengkap mengenai kondisi kehamilan Ibu Nunuk? Apakah Bidan Handayani telah melakukan proses persalinan dengan prosedur professional sesuai dengan keadaan kehamilan? Pertanyaan – pertanyaan itulah yang perlu dijawab untuk membuktikan apakah Bidan Handayani melakukan malpraktek atau tidak.
D.    Tanggung Jawab Hukum
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
v  Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.




v  Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

E.     Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek
1.      Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.       Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.      Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.       Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.      Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.       Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.       Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.


2.      Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
·       Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1.      Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2.      Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3.      Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4.      Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.      Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6.      Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).





Tinjauan dari segi hukum
·       Solusi
1.    Apa yang seharusnya dilakukan keluarga untuk menghadapi kasus ini?
Keluarga yang akan melakukan tuntutan terhadap tenaga bidan sebagai terdakwa yang telah melakukan ciminal malpractice, harusnya dapat membuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidana yakni :
Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
Berdasarkan  kasus di atas, bidan Linda Handayani hanya berniat untuk menolong, namun pada pertolongan kasus ini bukanlah kewenangan bidan, melainkan kewenangan dokter obgyn.
2.    Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Berdasarkan  kasus di atas masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga  menuduh bidan LindaHandayani telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) pembuktianya dapat dilakukan dengan:
1.    Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4D yakni :
a.       Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan Linda Handayani dengan pasien Nunuk Rahayu, bidan Linda Handayani haruslah bertindak berdasarkan:
1)  Adanya indikasi medis
2)  Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)  Bekerja sesuai standar profesi
4)  Sudah ada informed consent.

Berdasarkan point – point  di atas penggugat harus mengkaji lebih lanjut untuk didapatkan bukti yang  jelas  apakah bidan Linda Handayani telah memenuhi tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang bidan atau tidak.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat dipersalahkan. Dalam kasus diatas bidan Handayani telah memenuhi point ini, menolong persalinan sungsang bukanlah kewenangan dari bidan sehingga melalui point ini bidan Handayani dapat dipersalahkan/digunakan sebagai berkas tuntutan dari keluarga ke bidan Handayani.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan. Berdasarkan teori ini yang dihubungkan dengan kasus maka, hasil negative dari kasus ini yang berupa putusnya leher bayi dan meninggalnya bayi tidak dapat digunakan langsung sebagai dasar menyalahkan bidan Handayani, perlu dilakukan pengkajian oleh penggugat mengenai hubungan langsung antara penyebab dan kerugian yang diderita oleh penggugat (keluarga ibu Nunuk) untuk didapatkan bukti yang jelas untuk pengajuan tuntutan.
  1. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa loquitur). Dalam kasus ini hasil layanan bidan adalah putusnya leher bayi dari ibu Nunuk.
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai
b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.





Apa yang seharusnya dilakukan seorang bidan dalam menghadapi kasus ini?
Dalam kasus diatas tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani  menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain.
b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan, apakah hal ini merupakan pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani dapay membebaskan diri atau tidak dalam pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani harus memperjelas apa yang terjadi sebenarnya sehingga layak untuk mendapat hukuman atau tidak.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus Bidan Linda Handayani yang telah kami pelajari, dapat disimpulkan bahwa masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Masih banyak hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga  menuduh bidan Linda Handayani telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Saran
Bidan Handayani sebagai seorang bidan senior hendaknya dapat menunjukkan profesionalisme sebagai seorang tenaga kesehatan. Dalam arti beliau harus bisa menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang kronologis peristiwa yang terjadi, agar tidak menimbulkan prasangka publik yang akhirnya akan menimbulkan fitnah dan isu-isu yang tidak benar. Dan pada akhirnya juga akan merugikan nama baik sebagai seorang bidan serta hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Karena bidan adalah sebagai pelaku utama dalam kasus ini, bidan harus bisa menjelaskan dengan sebenar- benarnya sebab terjadinya peristiwa saat membantu persalinan bayi sungsang lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim, kejadian tersebut sangat ironi.
Menurut standar kewenangan profesi kebidanan seharusnya seorang bidan tidak mempunyai kewenangan untuk membantu persalinan dalam kondisisi sungsang. Bidan harus bisa menyadari hal tersebut dan seharusnya bidan melakukan rujukan. Hal tersebut merupakan keadaan abnormal dan persalinan tidak dapat ditolong pervaginam melainkan harus ditangani oleh yang ahli yaitu obgin.

Kasus
SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS
Batu- Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu, 39, tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.
Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin, 40, kalut bukan kepalang.Bayi yang diidam idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.
Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.
Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa. Ya normal-normal saja,” katanya.
Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk masih terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.
Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.
Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang. Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.
Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian, masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.
Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut.

Daftar pustaka
  1. http://www.opensubscriber.com/message/dokter@itb.ac.id/4645648.html Diakses pada tanggal 31 Juni 2010 pukul 20.19 WIB
  2. http://bidankita.com/?p=210 Diakses pada tanggal 29 Mei 2010 pukul 15.30 WIB
  3. Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
  4. Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
  5. Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.






















RAHASIA JABATAN DAN PROFESI DALAM KEBIDANA



1.    DEFINISI RAHASIA JABATAN
           


Rahasia jabatan adalah rahasia seseorang dalam pekerjaan atau jabatannya sebagai pejabat struktural. Dalam hal inilah profesionalitas seseorang dalam memangku suatu jabatan dapat dinilai. Misalnya rahasia jabatan dalam kedokteran adalah rahasia dokter sebagai pejabat stuktural, sedangkan rahasia pekerjaan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan praktiknya (fungsional). Kewajiban menyimpan rahasia jabatan adalah kewajiban moril yang sudah terjadi bahkan sejak zaman Hippokrates.

Untuk memperkokoh kedudukan rahasia jabatan dan pekerjaan, Indonesia sudah mengukuhkan peraturan/undang-undang tentang rahasia jabatan. Rahasia jabatan kedokteran diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1966, yang mana mengatakan bahwa dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia jabatan dokter di maksud untuk melindungi rahasia dan untuk menjaga tetap terpeliharanya kepercayaan pasien dan dokter.

 Dokter berkewajiban menyimpan data-data seperti rekap medis seseorang yang sedang atau telah melakukan pengobatan Oleh karena tanggung jawab menyimpan rahasia pasien ini adalah suatu tanggung jawab moril, perihal rahasia jabatan ini juga diucapkan pada sumpah jabatan seorang dokter, juga oleh KODEKI.

Pada umumnya, saat menjalani pengobatan, seorang dokter akan bertanggung jawab kepada pasien. Sehingga dokter yang bertanggung jawab tersebut berkewajiban untuk memberikan informasi medis apabila diperlukan. Akan tetapi dalam kasus atau keadaan tertentu, tugas memberikan informasi medis ini dapat juga disampaikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bertanggung jawab.

Rahasia jabatan juga dianggap penting pada profesi Pendeta.Pendeta dalam melakukan konseling pastoral wajib menjaga rahasia dari jemaat yang melakukan percakapan konseling pastoral. Ini yang membuat perkunjungan pastoral menjadi tidak mudah.  Gereja mengenal beberapa jenis pelawatan (perkunjungan pastoral): rutin, sakit, kedukaan, persiapan baptisan/sidi, persiapan perjamuan kudus, persiapan nikah, atestasi pindah, dan lain-lain. Perkunjungan dilakukan oleh pendeta, penatua, ataupun jemaat biasa.












Akan tetapi, isi dari percakapan konseling merupakan rahasia jabatan yang sekali-kali tidak boleh dibukakan kepada orang yang tidak berkepentingan. Sehingga hal ini memungkinkan bagi anggota-anggota jemaat atau penatua atau jemaat yang digembalakan untuk dapat mencurahkan isi hatinya tanpa takut akan disebarkan kepada khalayak ramai.Apabila pendeta hendak meminta pertolongan dari orang lain mengenai masalah tersebut, maka haruslah terlebih dahulu meminta izin kepada jemaat yang melakukan konseling.Kemudian dalam rangka mengajar umat secara keseluruhan, apabila hendak memakai contoh kasus, tidak boleh menyebutkan nama sebenarnya.

Rahasia jabatan juga berlaku pada pekerjaan lain, misalnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam Peraturan Pemerintah no. 30 tahun 1980 dinyatakan bahwa PNS wajib menyimpan rahasia negara atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, rahasia jabatan sedikit berbeda bila dalam pengadilan. Dalam persidangan, kewajiban menyimpan rahasia jabatan itu ditiadakan. Misalnya, seorang notaris dalam persidangan, haruslah memberikan keterangan sejelas-jelasnya bila dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus pajak


2.        ATURAN  HUKUM  YANG  MENGATUR  RAHASIA  JABATAN  DAN PROFESI

1.      Aturan hukum yang mengatur

a.       PP No. 10/1966 menetapkan simpan rahasia kedokteran
Semua petugas kesehatan wajib menyimpan rahasia kedokterantermasuk berkas rekam medic
b.      Kitab Undang – undang Hukum Pidana ( KUHP ), Pasal 322 menyebutkan bahwa :

o   Ayat (1) Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia di wajibkan untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
o   Ayat (2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, nraka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.





c.       UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 57
1)      Setiap  orang  berhak  atas  rahasia  kondisi  kesehatan pribadinya  yang  telah  dikemukakan  kepada  penyelenggara pelayanan kesehatan”
2)      Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan  pribadi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat   tidak berlaku dalam hal:
a.       Perintah undang-undang;
b.      Perintah pengadilan;
c.       Izin yang bersangkutan;
d.      Kepentingan masyarakat; atau
e.       Kepentingan orang tersebut
f.       UU No 22 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, pasal 32 :
Setiap pasien mempunyai hak (i) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasik data-data medisnya.
2.    Sanksi Hukum
a.       Sanksi administrative
b.      Sanksi Pidana
c.       Sanksi Perdata
d.      Sansksi Disiplin


3.    Tenaga Kesehatan Yang Wajib Menyimpan Rahasia Pasien
Ketentuan pasal 3 dari PP No 10 tahun 1966 tentang  wajib simpan rahasia kedokteran “ bahwa pihak-pihak yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksudkan dalam pasal 1 adalah
a.       Tenaga kesehatan menurut pasal 2 peraturan pemerintah no 32 tahun 1996 tentang Tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:
1)      Tenaga kesehatan terdiri dari :

a)      Tenaga medis ;
b)      Tenaga Keperawatan ;
c)      Tenaga Kefarmasian ;
d)     Tenaga Kesehatan Masyarakat ;
e)      Tenaga Gizi ;
f)       Tenaga Keterapian Fisik ;
g)      Tenaga Keteknisan Medik.





2)      Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
3)      Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
4)      Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
5)      Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiologi kesehatan, penyuluhan kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
6)      Tenaga gizi rneliputi nutrisionis dan dietisien.
7)      Tenaga keterapian fisik meiiputi fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara.
8)      Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
b.      Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan

4.      Gugurnya Kewajiban Dokter Untuk Menyimpan Rahasia Kedokteran
Menurut Herkutanto, sebagaimana disitir oleh J. Guwandi ada beberapa keadaan dimana dokter dapat membuka rahasia kedokteran tersebut tanpa sanksi hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan[6]
1)      Adanya ijin atau ijin pasien.
Pasien dianggap telah menyatakan secara tidak langsung bahwa rahasia kedoteran itu bukan lagi merupakan rahasia, sehingga tidak wajib dirahasiakan lagi oleh dokter.
2)      Pembukaan rahasia kedokteran tanpa ijin pasien, karena ada dasar penghapus pidana berdasarkan ketentuan pasal 48,50, dan 51 KUHP.
Fred Ameln juga berpendapat bahwa ada 6 hal yang memungkinkan hak pasien atas rahasia kedokteran ini di buka oleh dokter, yaitu[7]
1)      Diatur oleh undang-undang (misalnya UU tentang penyakit menular)
2)      Pasien mebahayakan umum atau pasien membahayakan orang lain (missal: sopir bis yang berpenyakit epilepsy)
3)      Pasien dapat memperoleh hak social (missal: pasien memperoleh tunjangan khusus dari perusahaan)
4)      Pasien jelas-jelas memberikna ijin baik lisan maupun tertulis.
5)      Pasien memberikan kesan kepada dokter bahwa ia mengijinkan (dalam hal ini pasien tersebut misalnya membawa teman pendamping di runagn praktek dokter).
6)      Demi kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi.


7)      Menurut lestari berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa seorang dokter dapat dibebaskan dari sanksi hukum dalam hal ia mengungkapkan rahasia kedokteran jika terdapat factor-faktor atau hal-hal sebagai berikut:

a.       ijin dari pasien
Seperti yang diketahui bahwa pasien adalah pemilik rahasia kedokteran. Pasien adalah satu-satunya orang yang berhak memutuskan boleh tidaknya konfidensialitas  tentang dirinya diungkapkan. Namun apabila pasien telah memberikan ijin untuk mengungkapkan rahasia atas dirinya, maka dokter terbebas dari kewajibannya menyimpan rahasia tersebut dan tidak dikenai sanksi. Ijin pasien ini dapat diberikan secara lisan maupun tertulis ataupun secara diam-diam.
Pemberian ijin itu bisa secara terbatas, yaitu dalam arti hanya terbatas pada orang-orang tertentu saja. Dapat juga dibatasi oleh ruang lingkup rahasia itu sendiri, misalkan terbatas hanya kepada apa yang diperlukan saja. Misalnya dalam kaitannya dengan asuransi maka dokter diberikan ijin untuk mengungkapkan pada perusahaan asuransi secara terbatas untuk keperluan asuransi tersebut.
Pemberian ijin secara diam-diam atau anggapan. Misalnya pasien yang dirawat inap di rumah sakit dapat dianggap telah memberikan ijin kepada dokter yang merawatnya untuk mengadakan konsultasi kepada dokter ahli, memberitahukan penyakitnya pada perawat dan asistennya, dan menitipkan berkas rekam medis kepada rumah sakit.
b.    Adanya keadaan mendesak atau memaksa
Di dalam keadaan  terpaksa (overmacht), juga tanpa seijin pasien, dokter dapat mengungkapkan rahasia kedokteran. Keadaan terpaksa yang dimaksud adalah suatu situasi dimana suatu norma dapat dilanggar demi suatu kepentingan yang lebih besar.
Contoh suatu keadaan terpaksa.
Misalnya pasal 48 KUHP : “ siapapun tak terpidana jika melakukan perbuatan karena terdorong oleh keadaan terpaksa.
“ Terpaksa” pada pernyataan diatas adalah dipaksa relatif dimana terjadi karena adanya tekanan rohani timbul karena keadaan terpaksa atau darurat, sehingga yang bersangkutan berbuat sesuatu hal yang pasti tidak akan diperbuat olehnya, jika keadaan terpaksa itu tidak ada.




c.       Adanya peraturan perundang-undangan
Seorang dokter yang membuka rahasia kedokteran tidak dapat dipidana karena melaksanakan ketentuan undang-undang. Hal tersebut tersimpul dalam ketentuan pasal 50 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksankan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Misalnya kewajiban untuk melaporkan kelahiran, kematian, kewajiban untuk melaporkan penyakit-penyakit tertentu dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dianggap bahwa secara materil oleh undang-undang sudah dipertimbangkan, bahwa terdapat kepentingan yang lebih besar. Secara formil justifikasi terletak pada adanya perundang-undangan.
d.      Adanya perintah jabatan
Sebagai dasar pembenar lain untuk melanggar kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran adalah adanya perintah jabatan yang diatur dalam ketentuan pasal 51 KUHP. Pasal ini mengatur tentang seorang dokter yang mempunyai jabatan rangkap seperti militer atau dokter penguji kesehatan.
e.       Demi kepentingan umum
Alasan ini timbul berdasarkan kebiasaan dalam praktek, karena pasien tersebut merupakan “public figure”, seorang tokoh pemimpin yang dianggap penting oleh masyarakat. Misalnya tentang pengumuman tentang sakitnya pejabat Negara.
f.       Adanya presumed consent dari pasien
Adanya presumed consent, yaitu pasien telah mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa data tentang dirinya akan diketahui oleh orang atau instansi selain dokter. Misalnya apabila seorang memutuskan untuk menjadi anggota ABRI.
Dalam pasal 57 ayat 2 UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan disampaikan Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan  pribadi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1 (“Setiap  orang  berhak  atas  rahasia  kondisi  kesehatan pribadinya  yang  telah  dikemukakan  kepada penyelenggara pelayanan kesehatan”) tidak berlaku dalam hal:
1)      Perintah undang-undang;
2)      Perintah pengadilan;
3)      Izin yang bersangkutan;
4)      Kepentingan masyarakat; atau
5)      Kepentingan orang tersebut



PENUTUP
Simpulan
Rahasia jabatan ialah rahasia dokter pada waktu menjalankan prakteknya (fungsional). Kewajiban memegang  teguh rahasia jabatan merupakan syarat yang senantiasa harus dipenuhi untuk menciptakan suasana percaya dan mempercayai yang mutlak diperlukan dalam hubungan dokter penderita
Kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran dapat gugur dan dokter tidak dikenai sanksi hukum apabila:
a.       Ada ijin dari pasien
b.      Dokter berada dalam keadaan terpaksa
c.       Dokter manjalankan peraturn perundang-undangan
d.      Dokter melakukan perintah jabatan
e.       Demi kepentingan umum
f.        Adanya presumed consent dari pasien
 Saran
Sesuai dengan topik kajian ini, maka disarankan setiap tenaga kesehatan wajib memegang  teguh rahasia jabatan.














KASUS
     Ada seorang remaja usia 18 Tahun datang ke BPM mengeluh terlambat  mensturasi  selama tiga bulan dan sering mengalami mual muntah,pusing, emosinnya labil, sering buang air keci.kemudian bidan melakukan pemeriksaan menggunakan ppt tes, dan hasilnya +. Tetapi karena masih d bawah umur pasien  meminta bidan agar untuk tidak memberi tahu keluarganya terlebih dahulu karena takut dimarahi.
Ada pasangan suami istri yang datang kerumah sakit untuk memeriksakan kehamilan nya, namun ketika bidan memeriksa wanita tersebut tidak  mengalami kehamilan dan ternyata hanya anggapan wanita tersebut bahwa dia hamil oleh karena wanita tersebut sudah mendambakan kehamilan selama bertahun tahun.ketika di lakukan pemeriksaan yang terdapat di dalam rahim wanita tersebut adalah molahidatidosa (hamil anggur) yang besarnya sudah mencapai 5-6 cm.



















DAFTAR  PUSTAKA

[1] Soerjono Soekanto. 1998. Aspek Hukum Kesehatan (Kumpulan Catatan). Jakarta : Ind-Hill C
[2] Lestari, Yuni Ahdiana. 2003. Jurnal Hukum Republika No. 4 Vol. 2 tahun 2003: Aspek Hukumkewajiban menyimpan rahasia kedokteran
[3] Hanafiahh, Jusuf,M.1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Jakarta : EGC
[4] Lestari, Yuni Ahdiana. 2003. Jurnal Hukum Republika No. 4 Vol. 2 tahun 2003: Aspek Hukumkewajiban menyimpan rahasia kedokteran
[5] Hanafiahh, Jusuf,M.1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Jakarta :     EGC
[6] Guwandi, J. 1992. Trilogi Rahasia Kedokteran. Jakarta : FKUI
[7] Ameln,F. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedoteran. Jakarta : Grafika Tama Jaya
Diposkan oleh Ikacahya Ningrum di 04.24 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar